Luwes

Tantangan menjadi freelance developer itu bukan soal sudah jago programming apa belum. Karena walaupun kita sepinter dan sejago apapun. Kalo mindsetnya masih seperti orang yang kerja kantoran, menerima task dari atasan, dikerjain, selesai, repeat gitu terus, maka jenjang karir akan lambat berkembang. Iya kalau di perusahaan kita ada jenjang karir yang jelas tiap berapa tahun naik jabatan, tapi kalo tidak ada, maka akan sulit. Di dunia freelancer juga demikian.

Ada banyak tantangan di dunia proyek freelance developer, yaitu:

  1. Case yang dihadapi selalu beragam. Hari ini handle proyek membangun aplikasi analisis gangguan pendengaran – audiometri, besoknya casenya app. form survey kendaraan bermotor, lusa case marketplace. Jadi tiap hari, tiap bulan, tiap tahun case yang dihadapi selalu beragam, bidang kesehatan, transportasi, makanan, sosial, dll. Mau gak mau belajar juga dasar teorinya biar tau goal yang diharapkan klien seperti apa. Toh, sangat penting menjaga persepsi agar pada “halaman yang sama” dengan klien. Kalo kita hanya melakukan task yang diberikan, tanpa memahami casenya, ya siap-siap saja, hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. Saya dengan tim juga demikian, terkadang, developer tim saya malah memberikan masukan positif karena dia memahami casenya, alhasil, output dari fiturnya menjadi semakin baik. Dan developer yang seperti ini yang biasanya disayang semua orang, baik klien, oleh project manager, designer, dan teman-teman sesama developer, karena dia “luwes”, memahami casenya tanpa disuruh, mampu memberikan masukan yang kira-kira bisa jadi pertimbangan si klien, dan memahami outputnya agar hasilnya optimal.
  2. Ketika seseorang membuat aplikasi, pahamilah, selalu ada kompetitor. Case yang diberikan klien menarik bagi kita, tapi bisa saja kompetitor telah membuatnya semakin menarik. Apa yang bisa kita unggulkan yang bisa kita berikan ke klien? ya memang itu tugasnya klien, tapi dari sisi tech seharusnya kita bisa memastikan fitur yang dibuat lebih mudah digunakan daripada kompetitor, walaupun fiturnya sama persis.
    Ada contoh begini: “mas Widy, ini saya coba bikin, tetep gak bisa, susah, mas, teknologinya belum ada”. | “masa’ sih, mas? Coba buka app. abcdef ini, itu fiturnya sama loh, bisa kyk gini, coba research dulu aja, kira-kira ini pake tech apa” Karena saya juga pernah bilang “gak bisa” ke klien, sayapun kena sembur klien, “hey Widy, did you know we will build something amazing? this is our competitor app, please install and look carefully. If you can’t implement this, it will be disaster” Si klien juga enaknya memberikan keleluasaan buat kami untuk “research”..dan tentunya bayaran lancar terus. Beda dengan klien Indonesia, ini saya belum pernah ketemu orang yang membiarkan dev buat explore dulu, dan waktu explore tetep dihargai. Jadi intinya, coba pelajari kompetitor app, bedah dan ATM (amati tiru modifikasi) fiturnya, sehingga kita bisa membuat sesuatu yang lebih unggul dengan fitur yang sama. Dan diskusi dengan UI/UX designer juga diperlukan, jangan kerja sendiri, toh ada tim
  3. Metodologi pengembangan. “Mas, di kantor saya itu, kami biasa pake scrum, ngadain scrum meeting, lanjut bahas task, set story point, dll. Kalo bisa di sini juga gitu”. Saya pernah dapat masukan seperti itu, tapi ketahuilah, gak semua project freelancer itu kondisinya sama, typical kliennya sama, dll. Semuanya 100% berbeda, walaupun ada yang mirip. Saya pernah menganjurkan 1 workflow ke klien yang menurut saya ideal dengan jumlah personil sekian, tetapi oleh klien tidak disetujui, ntah apa alasannya. Ntah trust issue atau ada hal lain. Tetapi perlahan tapi pasti, saya bisa ajak diskusi buat klien, pelan-pelan membenahi semuanya. Jadi, tidak bisa instant. Dengan klien saya yang Dubai apalagi, klien super sibuk, kadang ada asistennya yang turun tangan, dan sayapun kesulitan menghubungi kliennya, tetapi perlahan tapi pasti, saya bisa alokasikan waktu saya sesuai jamnya si klien dan mendiskusikan semuanya. Percayalah, saya sudah set plan bulan Januari, Februari, dst selama 6 bulan ke depan seperti apa, itu ujungnya tidak ada yang pas sesuai timeline, meleset 100%, tetapi saya tidak patah semangat, saya coba update terus gantt chartnya, update terus perkembangan ke klien walau klien tidak ada response. Kenapa? karena saya punya pegangan kuat kalo tim ini tetap on-track, walaupun timeline bergeser karena design kurang matang, karena perubahan ini-itu, dll. Tidak semua seindah bayangan kita, Ferguso. Kita harus “luwes” menjaga kondisi project agar tetap terus konsisten memberikan output yang terbaik. Ketika kita berpikir, project bakal ideal dengan menggunakan Scrum, ya liat lagi, kondisinya bisa gak dipaksakan, kalo gak bisa ya coba metodologi lain, ada Kanban, dan kalo memang kondisinya kayak “Indonesia banget”, pake “Waterfall” lebih baik.
  4. 3. Ke-luwes-an ini perlu ditanamkan, agar klien juga senang dengan kita, mau edukasi klien ya bisa, ingat, ngubah kebiasaan itu sulit, jadi semua butuh proses.

Karir

Bisa dibilang karir saya ini tidak berjalan dengan rencana.

Habis lulus kuliah pengen bisa kerja di BUMN, karena ngeliat bokap bisa sukses menyekolakan anak-anaknya sampai kuliah. Dan waktu itu saya punya pacar pengen melamar si pacar. Ternyata tidak sesuai kenyataan. Saya diterima kerja sebagai fullstack php programmer di swasta Singapore, gaji saya cuma 3juta di Jakarta tahun 2009.

Gak lama dari itu ngejomlo dan ditinggal nikah haha. Sempet stress. Bangkit lagi, malah ditawarin kerja jadi developer .net, dan ini titik balik saya mengenal dan mencuri ilmu manajemen proyek.

Dari sini gaji saya perlahan naik jadi 5 juta 2010 dan jomlo akut bahkan sempat ditipu seorang cewek.

Dari sini, saya ngeliat ada iklan HP Android pertama kalinya 2010, dan tertarik beli Xperia X10 dengan OS Android 1.5 (donut). Dan teman kantor gak ada yang punya HP Android melainkan saya, karena masa-masa cemerlangnya Blackberry kala itu.
Dari sinilah titik baliknya, pengalaman nyari proyek sudah dapet, ada potensi pasar Android pula. Belajarlah saya bikin app kecil-kecilan, pake tutorial bahasa Indonesia pula yang waktu itu saya dapat dari tutorial blog pak Agus Haryanto. Bermodal itu, belajar bikin macem-macem. Sampe bulan ramadhan ada yang request bikin app waktu sholat, saya bikin manual, databasenya pun saya masukin manual pake imsakiyah dari selebaran 😅
Dan makin lama beberapa teman support, bikin yang dinamis.

Selang beberapa lama, ortu nelpon, kenapa gak lanjut S2 saja, ortu waktu itu bantu biaya kuliah, jadi gak dari beasiswa, dan sedikit pakai uang pribadi buat biaya hidup di Jogja.
Akhirnya saya resign dari kantor yang mengajarkan saya asp .net, java, oracle, project management, mengenalkan saya ke klien-klien bank, dll.

Dan benar adanya, sampai di Jogja, ex-klien kantor malah nyariin ditawarin project personal, waktu itu ditawarin pak Dadang Purwaganda dari divisi MM BNI46 Pusat.
Dari kerajinan proyekan ini, S2 saya ndag fokus, malah lebih menarik kehidupan proyekan saya daripada kuliah. Jarang masuk kelas juga. Saya merasa terjebak dan salah masuk kelas karena waktu itu di S2 malah fokus belajar AI, mata pelajaran yang gak related dengan dunia karir saya, padahal pas voting pilih “pervasive”, ternyata suara terbanyak “AI”. Ya sudah akhirnya menjalani kehidupan yang tidak sesuai selera dan rencana.

Sampai di sini karir saya jatuh bangun, join bikin startup, gak sukses, ikut event macem-macem, gak menang, terus dengan partner startup cekcok karena saya merasa diperalat bikin software tapi dengan bayaran cuma-cuma, mending saya proyekan.
Sampai pada akhirnya, ex teman saya dari kantor yang sama garap pake .net kontak saya, dikenalinlah dengan ustaz Lutfi (alm), almarhum ke Jogja waktu itu traktir saya makan gudeg, saya dikasih lihat visi-visi alm ust. Lutfi, saya tertarik sekali
Awalnya tawaran ini saya lempar ke temen, karena saya sibuk dengan kuliah dan proyek, ternyata temen kurang pengalaman. Akhirnya saya rombak dan garap semua dari awal, sampai dengan 5 aplikasi saya garap buat Pusat Kajian Hadis.
Berkahnya? nama saya makin dikenal karena Android, tawaran ngajar, tawaran ngisi seminar dll berdatangan, dari kampus luar Jogja sampai dalam kota Jogja sini, hampir semua kampus di Jogja pernah mengundang saya, kecuali beberapa kampus swasta.
Dan sampai ex-teman kuliah message FB, “Wid, ada temenku adek kelas kita, nyari tentor buat belajar Android. Bisa bantu gk?”
Tau kenapa? saya tau adik kelas ini, saya tau dia cantik, saya tau dia dekat dengan salah seorang dosen. Loh kok niatnya malah beda? maklum jomlo akut.

Akhirnya dia kontak, saya deg-degan, sayapun langsung ke toko buku, nyari beberapa buku pemrograman Android memang niatnya dikasih ke dia, agresif ya saya? hahaha
Dan pas kontak-kontakan, dia kontak secara sopan layaknya adik kelas kontak ke kakak kelas. Saya diceritakan masalahnya, langsung nyambung.

Dan akhirnya saya mampir ke kost-annya di Lodadi, dekat kampus. Saya ketemu di depan masjid untuk pertama kalinya bertegur sapa langsung, degdegan? asli. Ya akhirnya ya semua biasa saja.
Sampai di sini, saya coba kepo ke teman-teman nongkrong saya yang kebetulan kenal dekat dengan dia, teman bilang “wah, percuma wid, itu ada 2 cowok yang nyoba deketin dia, kamu kalah start”
Hopeless sudah, ya wis nyerah.
Sampai di sini saya nyoba ngikut alur saja, bahkan sampai tahap ini berlalu berbulan-bulan sempat deket dengan seorang wanita dari Binus. Tapi ya gak pernah ketemu langsung, ngobrol juga di status doang. Sudah.

Saat semua berjalan biasa saja, kuliah saya jalan biasa saja, karir proyekan saya juga ke sana ke mari, sampai sering ke Jakarta, Sukabumi, Bandung, dll, diundang seminar dll. Akhirnya ada masa saya ke Google Dev Fest, eh ketemu dia lagi, adek kelas bimbingan saya, ketemu di GDF Jakarta.
Gak tau kenapa, adek kelas ini deket, duduk di samping saya, saya ke-GR-an.
Setelah event, saya merasa “inilah jodoh saya”, saya berdoa kepada Allah, “semoga dia jodoh saya”. Saya pulang ke rumah kakak, dia pulang bersama rombongan teman kampusnya naik bis.

Sampai kembali ke Jogja, semua di sosial media Plurk, saya membaca kegalauan status dia, ada pak dosen, pak Irving juga waktu itu yang “ngomporin” sampai pada moment, saya dikomporin pak Irving buat jemput dia di stasiun buat dianter ke kostan dia.
Well, dia lagi patah hati, tapi saya mencoba layaknya teman berusaha ngobrol ngalor ngidul biar dia gak sedih.
Sampai pada titik, saya diminta bimbing skripsi dia, sore hari di kafe Nanamia Pizza, dia copy lagu koleksi album Laruku, dan nyambung ngomong macem-macem. Dan kami pisah. Malemnya saya SMS, “kamu mau gk aku lamar?”
😅😅
Akhirnya dia menolak “maaf, mas, aku lagi taaruf dgn seorang dosen”
Patah hati deh 😭😭
Nah, sampai di sini saya ngalor ngidul aja sama temen, main game xbox360 semalem suntuk dll hahahha
Dan gak lama dari itu saya dihubungi temen, Ronny, “aku di BTC ngajar dia pemrograman Android, wid”
lah.. kok, jadi dia gak mau diajarin aku lagi? 😞

Dan gak sampe di situ, akhirnya ngobrol dengan temen, sampe pada ujungnya, saya bertukar posisi, jadi pengajar dia dan temannya di BTC.

Inilah awal momennya. Sampai akhirnya sayapun kaget, saya bertemu si dosen di BTC hujan-hujan, dan ada dia juga, saya ndag paham apakah disebut perusak hubungan? karena gosip yang beredar seperti itu. Padahal aslinya tidak demikian.

Besoknya, bapaknya dia telpon saya, ternyata dia cerita soal saya ke bapaknya, termasuk SMS yang ku kirim beberapa waktu lalu. Intinya bapaknya dia pengen ketemu saya.

Saya telpon ortu, saya bilang ke ortu, “pak, Agung pengen melamar anak orang”,
ortu kaget bukan kepalang, gak ada angin, gak ada hujan, ortu saya taunya saya jomlo, tau-tau pengen ngelamar anak orang.
Saya masih S2, dia juga lagi skripsi.
Sampai di kotanya dia, sayapun diajak ngobrol, alhamdulillah diterima, malah saya ingat ditraktir sate gule yang maknyus.

Dan selang 2 bulan kemudian, ortu sayapun saya ajak ke Jogja, kenal langsung deh dia ke ortu saya, alhamdulillah diterima dengan baik, di kotanya dia, ortu saya dan ortu dia sepakt buat selesaikan kuliah dulu.
Sayapun semangat. Diapun semangat menyelesaikan kuliahnya, alhamdulillah, dia cumlaude.

Dan alhamdulillah, dia sekarang sudah 8 tahun menjadi istri saya. Dan alhamdulillah sudah 4 anak.

Perjalanan karirpun dari karyawan PKH, kemudian lanjut karyawan Digital Money (Dimo), sempat 2 tahun di Sinarmas dengan gaji tetap, kemudian sekarang di klien luar dengan gaji tidak tetap tapi pendapatan naik 3x lipat dari gaji tetap.
Dan sekarang saya sedang membangun tim yang solid dengan 14 orang berbeda yang tersebar di Jawa dan Sumatera untuk 3 project berbeda.
Jadi, benar-benar karirnya gak terencana.
😅😅

Membangun aplikasi berbasis layanan jasa dengan GPS tracker?

Baru-baru ini ada pertanyaan yang cukup menggelitik saya, “berapa budget yang dibutuhkan untuk membangun aplikasi sekelas Gojek?”

Sebelum masuk ke pembahasan utama, saya ingin sedikit intro, saya pernah menulis artikel https://butterflydroid.wordpress.com/2018/08/08/mengapa-waktu-proyek-tidak-dapat-dihitung-dengan-pasti/ 

Dari artikel tersebut, apabila kita hendak mengembangkan aplikasi sekelas Gojek, tentu banyak ketidakpastian (uncertaintly). Sebagai contoh: setelah aplikasi diterbitkan ke AppStore dan PlayStore, ternyata beberapa user kesulitan berinteraksi dengan menu list makanan, akhirnya diadakan perombakan UI/UX agar user nyaman, tentu dari sisi budget dan timeline juga ikut terpengaruh. Belum lagi misalkan ternyata Google merilis OS terbaru, ternyata beberapa user yang sudah update OS, mengalami crash di aplikasi yang kita bangun, berarti harus ada penyesuaian sourcecode sesuai dokumentasi Google terbaru. Alhasil, butuh waktu untuk pengembangan lebih lanjut untuk mengatasi masalah crash tersebut.

Lalu bagaimana cara menghadapi uncertainty kayak gini? tentu klien gak mau dong menginvestasikan duitnya dengan hal-hal yang tidak pasti.

Maka dari itu belajarlah Project Management, BAB “Risk Management”. Mengapa penting? Dengan menerapkan Manajemen Resiko, kita dapat menentukan faktor-faktor ketidakpastian yang dapat menjadi faktor negatif ataupun positif, dan dapat mempengaruhi proyek untuk mencapai tujuan.

Beradaptasi dengan ketidakpastian di dalam Manajemen Proyek berarti belajar bagaimana mengelola risiko – mengatasi faktor ketidakpastian dan menguranginya.

Tidak ada manajer proyek yang dapat memprediksi ketidakpastian yang mungkin terjadi, akan tetapi mereka dapat belajar untuk mengukur tingkat ketidakpastian di dalam proyek dan menemukan cara untuk beradaptasi atau mencegahnya.

Nah dari sini kita butuh seorang manajer yang sudah pengalaman dan mampu mengukur tingkat ketidakpastian di dalam proyek. Jadi, tidak sekedar hire developer aja, suruh bikin app. sekelas Gojek, abis itu kebingungan gak tentu arah.

Gambar 1. Identifikasi Resiko-resiko

OK, kembali ke topik pembicaraan, karena kita sudah tau skup pengembangan aplikasinya, kemudian identifikasi  kemungkinan resiko dan masalahnya, selanjutnya rancangan sistemnya. Saya gak akan membahas dari sisi pemodelan sistem ataupun teknisnya. Hanya saja, dari sisi bisnis dan teknis, penting buat menjawab beberapa pertanyaan berikut:

  1. Siapa target pengguna aplikasinya?
    Insight: Karena aplikasi layanan jasa itu bisa melibatkan banyak stakeholder, mulai dari pemilik usaha makanan (resto), pemilik distro/butik (shopping), driver ojol (transport), pengantar barang (courir) dan customer. Berarti bisa dibedakan menjadi 3 jenis pengguna, yaitu: merchant (pemilik usaha), mitra (driver) dan customer. Berarti kita harus menyiapkan platform agar 3 jenis pengguna tersebut dapat terhubung ke dalam satu sistem.
  2. Apakah aplikasi yang hendak dibangun menampilkan lokasi driver dan lokasi pelanggan secara realtime?
    Insight: Perlu membangun arsitektur yang mumpuni dengan mempertimbangkan specs. hardware untuk server atau Cloud Server yang mumpuni di AWS dan GCP dan tech stack-nya. Selain itu, karena app. ini akan selalu berkembang seiring waktu, perlu dipertimbangkan menggunakan microservices dan CI/CD (Continuous Integration/Continuous Delivery). Ini penting karena sambil aplikasi jalan, developer dan tester juga harus cepat bekerja agar bisa mendelivery aplikasi yang stabil untuk customer. Itulah kenapa app. sekelas Gojek, OVO, Tokopedia, dll. slalu ada bergulir pembaharuan aplikasi demi meningkatkan kenyamanan pemakaian app. tersebut.
    Selain itu, karena realtime, tentu akan mempertimbangkan efisiensi penggunaan API untuk hit location driver ketika lokasi di Mapsnya berubah (on Location Changes), agar lokasinya dapat selalu terpantau. Bayangkan jika penggunanya mencapai 1000 dalam satu waktu. Budget penggunaan API Google maps juga harus diperhatikan (apalagi Google Maps sejak 2019 memiliki kebijakan baru seputar pemisahan billing dari GCP). Tentu ini penting, bila kita hendak membuat aplikasi yang dapat menampilkan lokasi pelanggan, lokasi merchant dan lokasi driver, ditambah menggambar rute destinasi dari lokasi merchant ke lokasi pelanggan di atas peta, dan juga membuat direction (Marker Direction) ketika driver berbelok atau putar balik.

    Bacaan menarik soal tech stack-nya: https://medium.com/life-at-go-jek/things-ive-learned-from-my-2-month-internship-at-go-jek-5db87393be94
  3. Apakah aplikasi yang hendak dibangun memiliki dashboard untuk pengelolaan keuangan, meliputi neraca keuangan: voucher diskon, harga jual, harga tampil, hutang ke driver, pendapatan bersih, faktor kali per propinsi, dan Pajak – PPn dan PPh per order? Apakah ingin divisualisasikan juga ke dalam bentuk grafik? Apakah terdapat monitoring order aktif dan tidak aktif (selesai, batal, bermasalah, dll)
    Insight: Kebanyakan masalah yang terjadi di klien yang hendak membangun aplikasi berbasis layanan jasa dengan GPS Tracker, adalah, buruknya pengelolaan keuangan dari orderan pelanggan. Bahkan parahnya, masih pakai excel. Mereka masih bingung memilah keuntungan driver dengan keuntungan perusahaan, bahkan ada kasus, driver mengeluh pemasukannya tidak sesuai yang tercatat di aplikasinya. Untuk itulah perlu adanya Dashboard untuk pengelolaan keuangan perusahaan dan keuangan driver. Selain itu pentingnya pengelolaan dan monitoring order, sehingga memudahkan admin ataupun customer support mengidentifikasi masalah-masalah pelanggan, merchant dan driver.
  4. Apakah ada call center atau customer Support di aplikasi yang hendak dibangun? dalam bentuk apa? bagaimana cara Customer melaporkan masalahnya? bagaimana bila terjadi masalah antara pelanggan dengan driver?
    Insight: Pentingnya memiliki pusat Resolusi atau Call Center yang tercantum di aplikasi, berupa FAQ, Troubleshooting dan guides pengguaan aplikasi. Dan sediakan juga Call-center, email laporan ataupun form pengaduan. Sehingga apabila terjadi hal-hal yang menyulitkan atau merugikan pelanggan, pelanggan dapat langsung melaporkannya dengan mudah. Mengapa ini penting? Agar sistemnya bisa berjalan sukses, kita harus bisa membuat user menjadi terbiasa menggunakan aplikasi kita, menjadi “habit” kalau aplikasi kita adalah salah satu opsi utama mengatasi masalah mereka. Kalo misal hujan, pengen makan, kalo dulu alternatifnya ya nunggu hujan reda atau maksa pergi pakai jas hujan. Kalau sekarang? kalau hujan dan pengen makan, tinggal order via app. Nah, bayangkan, belum jadi “habit” mereka, tau-tau aplikasi bermasalah, dan tau-tau supportnya mengecewakan, tentu orang akan enggan menggunakan aplikasi kita lagi. Layanan yang baik yang diutamakan.
  5. Apakah aplikasinya dapat berjalan di semua jenis OS Android dan iOS baik smartphone maupun tablet? Jika ada update terbaru OS dari masing-masing platform apakah dapat berjalan dengan lancar? Bagaimana jika ada pembaharuan flow aplikasi, soalnya belum tentu flownya nyaman dipakai driver di lapangan (apalagi drivernya ada yang sudah sepuh)?
    Insight: Ketahuilah, membangun aplikasi mobile itu mudah, yang susah itu merawatnya. Mengapa? Karena kita berhadapan dengan heteroprobabilitas tinggi, devicesnya beragam, OSnya juga beragam, di Android OS 5.0 Xiaomi jalan, belum tentu di Android OS yang sama-sama 5.0 juga jalan, terkadang ada masalah hardware gak support, API bermasalah di device tertentu, dll. Untuk itulah pentingnya meng-hire talent profesional TI yang selalu siap bekerja setiap hari, menjaga agar aplikasi tersebut dapat didukung penuh di berbagai jenis devices. Jadi, buang jauh-jauh halusinasi “setelah app. jadi, aku akan kaya raya nih, app.nya tinggal jalan, tinggal dipakai”, karena kita masih harus menghire talent tersebut permanen. Itulah kenapa sekelas Tokopedia dan Gojek memiliki karyawan yang banyak, khususnya di bidang TI karena itulah core-business mereka.
  6. Apakah budget yang tersedia cukup dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan (resources, marketing, skilled-talent)?
    Insight: Sebenernya, kalau berbicara berapa budget yang dibutuhkan, ya “undifined”, itulah mengapa sekelas Gojek, Tokopedia, dll.. selalu aktif menggaet Investor, dan para raksasa investor juga tentunya melirik setiap usaha yang mempunyai potensi pasar yang besar. Baik itu Investor lokal maupun asing. Investor asing yang masuk ke Indonesia, rata-rata sudah memiliki pengalaman, sebut saja Alibaba, Google, Softbank, dll., mereka sangat mengetahui kondisi perusahaan yang akan disuntikkan modalnya. Investor ini ada yang hendak menguasai sahamnya (jika sudah IPO), ada juga yang ingin mendapatkan bagi hasil keuntungan (dividen). Susah dong dapetin Investor kelas kakap? Jelaslah, perlu “pamer” dulu, biar dilirik luar. Biasanya startup itu pamer inovasi digital, yang membedakan produknya berbeda dengan produk lain, yang memberikan gambaran potensi market besar dan potensi produknya berkembang. Kebayang gak dulu app.gojek cuma aplikasi transportasi ojek online, ekspansi ke layanan antar barang dan driver mobil pribadi, dan ternyata (mindblowing…) orang gak ada yang menyangka, main-goal app.gojek tersebut adalah membiasakan pengguna menggunakan e-money mereka, “Go-Pay”, dan akhirnya Go-pay menjadi trend e-money di Indonesia. Dengan begitu, investor yakin menanamkan modal, karena investor dapat return yang berlipat ganda. Soal penilaian Startup? mungkin bisa dicari di Google, banyak kok, salah satunya ini.

Terus bagaimana? menjawab 6 pertanyaan tersebut saja, sudah bikin nyalikita ciut. Well, semua usaha itu memang berat langkah pertama, yang penting lakuin aja, gak perlu takut ini dan itu. Dan biarkan aplikasinya jadi sederhana dulu saja, semi manual gak masalah, yang penting konsisten dan berkembang. Jangan berharap, aplikasinya langsung sebagus Gojek atau sebagus Tokopedia apalagi sebagus Amazon.

Gambar 2. Siklus Perencanaan

Perlahan tapi pasti, set Goalnya (main-goal dan side-goal) untuk jangka pendek dan jangka panjang, tulis skup pekerjaan dan flow sistemnya agar nantinya bila kita menghire talent mereka jadi jelas apa yang dikehendaki klien (jangan sampai apa yang dikerjakan developer itu berbeda dengan yang dibutuhkan klien), sambil belajar, survey market-nya, dan kalau sudah tekad bulat dan perencanaan yang matang ya lakukanlah.

Testing app di Android Studio menggunakan device Android via Wifi

Bagi yang ribet menggunakan kabel untuk melakukan pengujian aplikasi ke device/hardware Android, anda dapat mengikuti cara mudah berikut ini. Di artikel ini diberikan 2 opsi melakukan pengujian aplikasi dari Android Studio ke device Android dengan perantara nirkabel/wifi.

Metode Pertama.

  • Nyalakan debugging mode di Pengaturan HP/device Android.
  • Koneksikan kabel usb dari laptop/PC ke HP Android (ini untuk inisialisasi saja, seterusnya tidak diperlukan lagi)
  • Gunakan command prompt/terminal yang sudah bisa menggunakan perintah “adb” (atau ya kalau belum paham, tinggal arahkan saja ke path lokasi SDK Android dan masuk ke directory sdk/platform-tools/ di dalamnya ada batch file adb)
  • Ketik:
    adb tcpip 5555[enter]
  • setelah itu cek IP Address HP/device Android dengan cara ketik:
    adb shell netcfg
  • Setelah anda mengetahui IP Address dari device/HP anda, dicatat/diingat, kemudian ketikkan perintah dengan format berikut:
    adb connect [IP_Address_device]:5555
    Contoh: adb connect 192.168.1.6:5555[enter]
    nanti akan muncul response:

    “connected to 192.168.1.6:5555” (ini tidak perlu diketik ya..ini akan muncul kalau anda berhasil menghubungkan HP/device android ke laptop via IPaddress secara wireless)

  • Setelah itu lepas kabel usb dari HP/device Android dan laptop/PC anda.
  • Dan selamat menikmati, Android Studio anda sudah bisa melakukan testing ke device/HP Android tanpa terhubung dengan kabel usb.
  • Bila anda sudah selesai melakukan testing aplikasi, anda dapat menutup koneksi wireless dari HP ke laptop anda dengan perintah berikut:
    adb -s [IP_address_device]:5555 usb [enter]

Cukup ribet ya cara di atas? atau masih ada yang gagal mencoba? Move-on dong..mari coba metode ke-dua.

Metode Kedua.

  1. Dari Android Studio kamu, masuk ke Preferences, dengan cara:
    Android Studio: Preferences/Settings->Plugins->Browse Repositories
  2. Install Plugins dengan mengetikkan: “Android WiFi ADB” dan pilih install sesuai petunjuk di layar.
  3. Setelah selesai Install, apabila diminta restart, pilih “restart”
  4. Selamat, plugins Android WiFi ADB berhasil diinstall. Sekarang bagaimana cara menggunakannya ya? Lanjut ke step ke-5.
  5. Mau testing di device Android, tentu jangan lupa nyalakan DEBUGGING mode (pokoknya wajib, masih belum ngerti? bisa bertanya atau cari diinternet, seharusnya developer Android tau langkah mudah mengaktifkan debugging mode ini)
  6.  

    Cari opsi “DEBUG OVER TCP/NETWORK” di dalam Menu Pengaturan/Settings device/HP android kamu>Developer Options.

  7.  

    Pasang kabel USB dari HP ke Laptop/PC, dan pastikan keduanya (PC dan HP) menggunakan jaringan internet yang sama (ntah hotspot ataupun wifi)

  8.  

    Pilih icon ANDROID Wifi ADB di Android Studio.

  9.  

    Setelah itu, device/hp kamu akan terdeteksi di situ, dan siap digunakan untuk testing (jangan lupa cabut kabel USBnya yah pas menggunakan plugins Android Wifi ADB ini)

Selamat mencoba.

 

Menjadi suami seorang pekerja TI

Masa di mana suami jd spontan merenung itu ketika suami melihat istrinya sedang tidur.. Ada rasa bersyukur ada rasa bersalah…menyadari bahwa suami itu cenderung lebih egois. 

Ntah alasannya mencari nafkah, ia sudah merasa paling capek sendiri..selesai bekerja dgn penuh keringat, kadang mukanya kusut, ia pulang sudah dilayani istri spt tuan rumah. Namun istri tetap setia menanti dengan senang hati, menyambut suami dengan manja walau suami kusut, dan siap menjadi tempat berlabuh lelahnya suami.

Ntah alasan suami krn ia seorang developer, designer ataupun analis yg minta dimengerti kalau kerjaannya butuh konsentrasi tinggi berjam-jam kerja memperhatikan layar komputer bahkan seorang programmer yg asyik ngoding sampai “gak sengaja” overtime (lembur). Membuat suami jd lalai dengan kewajibannya.

Sudahkah jadi suami yg terbaik utk istri?
Nasehat yg datang dari orang tua dan dari dosen ketika di plurk yg slalu sy tanamkan dr sejak menikah ketika sy menulis status kesibukan saya di jejaring : “ingat, ada yang harus diperhatiin, sekarang bukan hidup sendiri lagi. Sesibuk apapun, keluarga nomor satu”

Suami ya jangan gila kerja, rezeki sudah diatur, waktu kerja yg normal jg sudah diatur Undang-undang.
Lakuinlah hal-hal ringan yg bisa membuat nyaman istri.
Ntah pulang langsung segera mandi, peluk cium istri dlm keadaan wangi. Menyuapi istri dikala makan bersama, berangkat ke masjid dengan boncengan sambil ngobrol ngalor-ngidul, nemenin istri belanja di pasar, dll. Bahkan kalau istri lg hamil yg tidak bisa aktifitas rumah tangga yang berat, suami siap mengemban pekerjaan rumah tangga sambil dengan cermat mensupport, memperhatikan pola makan dan istirahat istri.
Dan bukan hanya itu saja, keharmonisan memang slalu harus dijaga. Canda-tawa, tingkah lucu suami yg bisa membuat istri tersenyum tertawa..pulang kerja bukan membawa masalah kantor tapi membawa hal-hal lucu, romantisme…dan obrolan-obrolan ringan seputar kegiatan td pagi, obrolan soal tetangga, soal keadaan orang tua, dll. yg dapat membinasakan rasa kaku membisu yg bisa membuat problematika renggangnya hubungan rumah tangga.

Ada satu curhatan yg pernah terdengar…biasanya suami yg kerja di bidang TI, jam kerjanya tinggi per hari, istri bersyukur orang macem gini biasanya gk akan mungkin sempat selingkuh apalagi lirik cewek lain..(sempetnya selingkuh sm komputer), biasanya sih romantisnya garing hahaha…( tapi ya suami jangan egois) 

Kecocokan bisa dibentuk dan tersusun rapi dengan slalu terbuka berbagi cerita antara suami istri 

PS : kata2 ini sy dpt wkt denger ceramah di radio rodja, pengalaman pribadi, perkataan ortu dan dosen yg balas plurk saya.

Masalah source code, pantaskah diberikan ke klien?

Hari ini saya membaca artikel sangat bagus, mengingatkan kembali sedikit masalah yang pernah saya alami dulu di waktu menjalankan proyek TI dan pertanyaan seorang mahasiswa S1 yang sedang belajar “bermain” proyek TI.

Pertanyaan seorang mahasiswa tersebut kira-kira begini :

kalo misalnya klien ingin mengembangkan softwarenya lg, dia harus menghubungi saya dan membantu dia? Atau saya memperbolehkan klien untuk mengubah source codenya dengan izin dari saya?

Dari beberapa case proyek TI, source code tidak ada apa-apanya, jika dijual kembalipun, istilahnya cost depreciation (penyusutan harga). Yang mampu membuatnya “valuable” tentu proses bisnisnya dan layanan yang ditawarkan bagaimana mampu menyelesaikan masalah si client. Faktor supply and demand juga jadi salah satu faktor utama tingginya harga software

Ada beberapa vendor yang memang tidak memberikan source-code-nya, ada juga yang sistem sewa, dan ada juga yang dalam bentuk paket layanan software (include source-code)
Memberikan source-code tentu menguntungkan client dari segi pendapatan untuk masa depan.
Bisa jadi source-code tersebut di-“re-engineering“/re-use untuk dikembangkan lebih lanjut ke depannya, dan bisa jadi pengembangnya bukan pihak kita lagi (bisa SDM internal perusahaan, ataupun kita jual putus, dilanjut vendor software lain)
Di sini tentu ada nilai “investasi“, nah nilai ini yang bisa dihargai mahal

Kemudian ada pertanyaan lagi yang menghampiri….

kalau client nya bisa added value di code2 kita trus dijual lagi gimana, om ?  Kira-kira apa motivasi atau latar belakang penjual ikut menyertakan source-code software? begitu pula latar belakang pembeli.

Sudah tentu kita (sbg. vendor) merasa dirugikan jika memberikan source code, apalagi kalau client-nya bisa added value di source-code yang kita berikan, dan kemudian dijual kembali dengan harga tinggi (case nyatanya ada  )

Ntah klien ataupun vendor TI tentu punya motivasi.
Sebelumnya kita mesti pahami source-code bukan segalanya bagi client.

Apa motivasi client kita menggunakan jasa vendor untuk membuat software yang mereka butuhkan? tentunya ada alasan “meningkatkan kinerja perusahaan”, jika tidak, tentu mereka re-engineering source-code atau nambahin fitur2 dari software yang ada. Dan dari situ ada faktor lain juga, seperti ini kebutuhan urgent apa tidak, sistemik atau tidak, urusan maintenancenya, dan tentunya inginkan software yang berumur panjang.

Nah, dari sini keliatan kalau software tersebut ada umurnya (termasuk source-code-nya). Kita tentu sudah memperkirakan purna jual software-nya, sampai dengan post-development dan close-project.

Kebanyakan vendor-vendor TI perbankan, menerapkan sistem “pulsa”, “ok, saya berikan source-code ini kepada anda, tapi anda mesti menggunakan layanan kami sampai maintenance (termasuk update minor, re-design, dan bahkan upgrading)

Mereka tawarkan pulsa 100.000 man-days misalnya dari masa maintenance, kemudian ketika ada perubahan yang diinginkan client, itu kena “charge“, misal re-design homepage dihargai 8000/man-days, tentu 100.000 itu berkurang jadi 92.000 man-days, dan sistem pulsa itu ada masa tenggang sampai 1 tahun, di akhir tahun, vendor menawarkan lagi, mau diteruskan lagi (maka harus mengisi pulsa lagi), atau diputus (project termination)

Kebanyakan klien besar tidak mau repot (secara psikologi), dia akan terus menggunakan sampai jangka waktu lama atau sampai software itu tidak menghasilkan solusi lagi. Apalagi sudah ada “ikatan” yang kuat antara si pihak SDM vendor dengan client (misal karyawan TI internal bank sudah akrab dan mampu berkolaborasi dengan SDM vendor), tentu kerjasamanya bisa sangat panjang dan jasa si vendor akan terus dipakai (karena sudah ada nilai kepercayaan yang tinggi). Dan itu outsourcing, ada yang full-outsource ke vendor, ada yang selective outsource, dan ada yang in-source. (perbankan kebanyakan pakai yg selective, jadi yg internal perusahaan tetap dirahasiakan dari pihak vendor TI)

Nah, kembali ke masalah source-code, bagaimana jika source-code tersebut dijual lagi oleh client, apalagi sampe ditambahin macem-macem dan dihargai lebih tinggi lagi?
ya itu tadi, nilai investasinya (invest order) yang kita tawarkan ke client mesti ditinggikan lagi (tapi lihat juga daya beli client), maka dari itu ada proses negosiasi (ini penting sekali).

Seperti halnya di artikel tersebut, jika kita mampu membuat software tersebut kemudian dipake client untuk ditingkatkan kemampuannya kemudian dijual lagi…ya kita selaku vendor mesti lebih kreatif lagi.

Jika tidak rela, silahkan pasang lisensi di software tersebut.

Enable multiple users & user session on Android

Multiple User Mode is the ability to give the phone to another person, let them log in with their own account information, and any changes they make are done under their account. They give the phone back to you, and you’ll have none of their clutter, photos, emails, or apps on your account.

Preparation :

  1. You’ll either need root access (rooting) on your Android device, ADB tools via commandprompt, or a terminal emulation application installed.
  2. In a terminal window or ADB, you’ll need to obtain SuperUser/root access. This is generally done by typing :
    adb shell [enter]
    su [enter]
    After obtaining SuperUser access, type in:
    pm get-max-users [enter]
    note : if pm get-max-users failed, maybe package manager not supported on your device, it’s no problem at all. 😉
  3. Now type in:
    setprop fw.max_users 8 [enter]
    note : this will create privilages for maximum number of users supported by the device
  4. Then, type in :
    pm create-user [usernameyouwanthere] [enter]
    example : create-user Guest [enter]

    For another pm (package manager) cheatsheet, you can visit this.

And, viola! you can try to “press and  hold” power button, if it is successful, it will show like this :

Image

Kerja Ikhlas?

Kerja ikhlas?

A : “kamu kok jam sgini belum pulang (jam 8 malem), banyak kerjaan kah?”
B : “iya, pak. Nanggung”
A : “gak ngisi form OT (over time, lembur)”
B : “yang lain pd gk ngisi, pak”

====

A : “saya ngisi berapa sesi?”
B : “waktu bapak sampe jam 4 ya pak!”
A : “sekarang sudah jam 4, tapi materi belum saya sampaikan semua nih?”
B : “yawdah pak dilanjut saja sampe jam 5. Masih pada semangat nih kerjanya”

===

B : “pak, anda bakal ketemuan sm klien dr belanda. Tolong siapkan presentasinya dalam english ya! sekaligus prototypenya dibuat dalam dwi bahasa”
A : “siap, pak”

===

banyak yang berpikir bahwa di sini adalah nilai “ikhlas”, di mana “biar deh, ambil pahalanya aja, gpp gak dibayar” | “gpp deh, lembur sampe jam 9 malem, istri di rumah biar disuruh makan duluan aja”
alhasil, terkorbankan kesehatan sendiri, amanah untuk pelihara keluarga, dsb.

Kerja ikhlas, maksudnya bukan berarti kerja tanpa mengharapkan gaji atau berjualan tanpa mengharapkan laba. Itu hak kita sebagai karyawan, sudah diatur juga dalam undang-undang (http://www.gajimu.com/main/pekerjaan-yanglayak/upah-kerja)
Urusan gaji, upah, uang lembur itu hak kalian, jangan kalian abaikan. Tentu penting loh kesejahteraan keluarga.

Kerja ikhlas di sini maksudnya adalah melakukan kegiatan usaha/bisnis tanpa keluh kesah bahkan rasa lelah tidak dirasakan sebagai suatu beban yang berat.
Kerja bukan beban, kerja adalah kewajiban yang mesti dinikmati, tanpa mengabaikan hak-hak, apalagi hak keluarga 

Kalo ada perusahaan yang ngeles : “ah, kamu gk loyal..masa’ minta tolong kayak gini mesti saya bayar! Kayak gini gk ada itungan bayarannya!”
Dalam perkembangannya, arti kata loyalitas sering dimanfaatkan oleh perusahaan untuk memanfaatkan karyawan semaksimal mungkin tanpa memperhatikan kebutuhan karyawannya.  hati-hati loh..jangan terbiasa dengan hal ini, alhasil jadi membudaya di kalangan pekerja. 😀

Loyal di sini, dekat sekali dengan kerja ikhlas, di mana mencintai pekerjaan, bekerja dengan hati dan sepenuh hati. Kalo Idealisme itu telah tertanam, loyalitas yang sesungguhnya akan tercipta dengan sendirinya. Bagaimana setiap pekerjaan ia kerjakan sungguh-sungguh, gak ngeluh, gak mengumbar aib ataupun rahasia perusahaan, dan tetap berpegang teguh pada aturan perusahaan (disiplin), itulah loyal dan tentunya tidak mengabaikan HAK-HAK kita sebagai karyawan.  🙂

N.B. : Artikel ini dibuat atas dasar pengalaman sendiri, teman yang barusan kemarin mengalami dan atas beberapa nasehat-nasehat teman-teman dan senior. Banyak teman juga yang mengeluh kalau usaha mereka sudah maksimal, tetapi yang didapat tidak maksimal. Ntah melalui jejaring, pas nongkrong bareng, dsb. Ya sampe-sampe pernah dulu kejadian, pas saya mencoba memperjuangkan hak teman-teman yg belum dapat bayaran (krn saya yang men-cebur-kan mereka dalam suatu kegiatan), saya dapat message facebook berupa “nasehat dewasa” dari segelintir orang katanya “kamu tidak profesional, kayak gitu diungkap di sosmed” ini buat pembelajaran, dan efek jera bagi mereka  saya tidak memention siapapun, dan bagi yang merasa semoga bisa ambil pelajaran. Tempatkanlah nilai profesionalisme pada tempatnya :p

Pentingkah melanjutkan kuliah di TI?

Bagi temen-temen yang dari SMA sudah kuat di dunia komputer, dan tertarik untuk menggali lebih dalam ilmu di dunia komputer, kemudian bertemu di kondisi “resah” apakah memang penting kuliah di bidang teknologi informasi atau cukup belajar otodidak saja terus ambil kuliah jurusan lain? khawatir nanti kuliah TI malah sia-sia saja, mending saya ambil kursus daripada buang duit untuk kuliah TI.

pemikiran seperti itu wajar terjadi, mengingat, belajar komputer juga sekarang cukup mudah, ditambah pola pikir anak SMA belum begitu matang.

Hanya dengan bermodal buku bacaan, dibeli dari toko buku, kemudian dibaca dan dipraktekan di depan komputer. Dalam periode waktu kurang dari 6 bulan sudah bisa mahir menguasai satu ilmu TI, ntah hacking, ntah programming, ntah jaringan, ntah sistem operasi. Dan bahkan dari situ mereka bisa menghasilkan uang dan bekerja di perusahaan-perusahaan besar.

Ada diskusi menarik yg sy dapat di perkuliahan S2 antara dosen dan mahasiswa mungkin bisa memberi gambaran mengapa kuliah TI itu penting
(* diskusi ini saya tidak ingat 100% isi percakapannya, namun saya masih bisa tangkap apa yang didiskusikan. Diskusi ini juga didapat dari 2 peristiwa. Init dosen : TBA dan EN. Mohon maaf bila tidak ingat sepenuhnya 😀 memory terbatas hehe )

dosen : *sambil nunjuk* masnya ambil S2 alasannya apa?”
mhs1 : “buat belajar TI lebih dalam, pak!”
dosen : “kalau boleh tau, ilmu apa yang anda dapat lebih dalam di S2?”
mhs1 : “sampai saat ini saya belajar lebih dalam dari berbagai studi kasus yang diberikan dosen, pak”
dosen : “apa yang bisa anda dapatkan dari situ?”
mhs1 : *terdiam sejenak* “penyelesaian masalah dan mencari solusi efektif dan efisien, pak”
dosen : “bukan itu, atau….” *sambil nunjuk yg lain* “…ya coba masnya yg dipojok itu, mengapa alasan ambil S2?”
mhs2 : “sy setelah lulus S1, jd programmer, pak, ingin mendalami lebih dalam soal programming dan software development, pak”
dosen : “jadi, anda ingin mendalami dunia software developmentnya ya mas? cukup bagus goal-nya. Tapi apakah anda bisa menjamin bahasa pemrograman yang anda kuasai itu masih ada 10 tahun yang akan datang? tidak bisa kan?”

kemudian…. dosenpun bercerita yang isinya kira-kira begini :

“saya akan bercerita soal kejadian saya menanyakan hal ini ke mahasiswa saya di akhir mereka kuliah, di awal saya bertanya ini juga, begitu mereka selesai bimbingan thesis dengan saya, saya tanyakan lagi.
saya bertanya ke mahasiswa : “apa yang sudah anda dapatkan dari S2 ini, mas?”
mahasiswa : “banyak sekali, pak. Saya bisa lebih mendalami masalah TI dalam lingkup yang lebih pasti dan terarah. Karena dunia TI begitu luas, jika kita mampu memosisikan diri kita di dunia kerja dengan pasti, tentunya karir kita akan lebih baik. Satu hal yang saya dapat dari pelajaran yang bapak beri..bahwa memang benar, pak. Di S2 ini, pola pikir saya lebih kuat, lebih terorganisir sebagai seorang profesional TI

Yang membedakan kita, S1, S2, D3, STM di dunia TI.. adalah “pola pikir” atau mindset.

Saya quote salah satu note dari seorang dosen (LEN) :
“kalau anda seorang programmer yang terbiasa bekerja pada level implementasi dan suatu saat harus belajar tentang matematika diskret, bersiaplah untuk meninggalkan mindset operasional untuk berpindah ke mindset dengan tingkat abstraksi yang lebih tinggi. Memikirkan topik-topik semacam logika, teori himpunan, dsb. pada level programming jelas tidak akan efektif.”

Dan itu jadi salah satu alasan, mengapa di S1 kita tidak belajar programming melulu, malah sampai ada teman-teman yang bertanya : “saya bingung kita belajar S1 ini hasilnya dapet apa? saya juga programming gak jago, dunia kerja ntar bingung mau jadi apa…lowongan banyak yang programmer dan staff TI, tapi tetep butuh skill programming dan RPL”

Dunia TI begitu luas, tidak hanya programming, tidak hanya software development, jaringan komputer, dan lain-lain. Kalau kita melihat lebih luas, di mana teknologi yang berkembang saat ini, seperti di smartphone, di traffic light yang bisa merekam plat nomor kendaraan yang melanggar lalu lintas, kemudian teknologi yang sekarang sudah diterapkan di restoran-restoran dan surat kabar dengan QRCode, mengambil keputusan di dunia bisnis, dan lain-lain. Itu juga hasil dari dunia TI. Ada Computer Vision, Soft-Computing, Data Mining, Pervasive-computing, dan lain-lain.

Dan dari perkuliahan itulah mereka dapatkan ilmu di bidang TI secara sistemik dan utuh. Kurikulum yang didapat juga jelas, dan diakhir semester kita diarahkan di mana kita harus memilih lagi, bidang/cluster/minat studi apa yang kita tekuni dan sukai dari dunia TI tersebut.
Dari situ juga mahasiswa berkembang, belajar dari umum ke spesifik. Namun hal tersebut, tidak hanya di dapat dari dalam lingkungan kuliah saja, tetapi dari luar kuliah juga. Di mana masalah di luar lingkungan kuliah tentu lebih beragam. Dan tentunya, mahasiswa dituntut untuk memiliki kemandirian dalam menuntut ilmu.

Mari kita lihat kasus nyata baru-baru ini, di mana seorang (yang mengaku) hacker yang berakun anon_indonesia, berdebat panjang lebar dengan para twitter lain, dia mengaku kalau level tertinggi dari hacking adalah deface. Konon katanya seorang bolang 😀
Sudah bisa menangkap apa yang membedakan dengan kita yang sudah kuliah TI? 😀
Ya, yang dia tau ya level hacking cuma deface website saja, yang bisa dengan mudah mengandalkan google, mencari file dengan nama dan atau extensi tertentu, misal aspx, php, dll. Kemudian ia coba masuki dengan beberapa cara, sehingga bisa meng-upload file-file lain dari local komputernya, kemudian file index.html/index.php, dll direplace seakan-akan dibajak?!:P 😀
Padahal jelas yang seperti itu bagi anak jarkom, tentu dianggap mainan anak sekolahan. Dan tentunya tindakan itu bukan main-main, karena memang merupakan salah satu hal kriminal.
Ketika ditanyain istilah-istilah jaringan, ah, jangankan jaringan, istilah kecil seperti back-end, sysadmin, dan sejenisnya, orang seperti itu belum tentu mengetahuinya.
Lantas dari mana bisa mengetahui seperti itu? 😀 tidak dari buku, tidak juga dari belajar otodidak, tapi dari perkuliahan, di mana…seperti yang saya tulis di atas tadi : “Di perkuliahan, mahasiswa dibiasakan untuk berpikir secara sistemik dan utuh tentang TI”

Ada contoh lain :
Seorang yang tidak kuliah TI, dia mahir programming Visual Basic 6 dengan otodidak, kemudian VB6 tidak laku lagi, programming baru datang, .NET. Dia bisa mengikuti perkembangan hal tersebut dengan belajar otodidak lagi, tapi begitu .NET berakhir, tentu ia mau tidak mau dituntut untuk belajar yang baru lagi, namun hal tersebut akan berakhir di situ-situ saja. Dan begitu mendapatkan persoalan yang baru, ia akan kebingungan.

Ada seorang STM yang mahir TI, dia sudah menduduki jabatan yang bagus di salah satu perusahaan telekomunikasi asing, kemudian dihadapkan dengan massive problem, dari hal infrastruktur TI, jaringan, sistem yang sudah tertanam dan sistem yang akan dikembangkan. Menuntut dia harus belajar lebih giat lagi. Namun, dia menjadi kesulitan : “aku harus mulai belajar dari mana dulu? nanti aku mesti ngapain?” karena tidak tau arah dan belajarnyapun tidak berurut. Membuatnya menjadi tersesat.
Alhasil, posisi dia tidak naik ke level berikutnya, dan masih di posisi sebelumnya. Dan pada akhirnya, membuat keputusannya berubah : “sepertinya saya harus mengambil kuliah S1 TI, biar lebih paham lagi”

Tiap jenjang strata, mindset yang terbentukpun berbeda levelnya. Dan perlu diketahui, di S2 TI, ilmu-ilmu S1 TI masih bertemu lagi. Hanya saja, kerangka persoalan di S2 itu lebih ke level abstrak yang biasa dihadapi oleh mereka yang bekerja pada posisi manajerial, bukan hal teknis atau operasional lagi. Mahasiswa dituntut mampu menyelesaikan persoalan dengan solusi yang efektif (tepat sasaran) dan efisien (tepat guna).

Dan dari beberapa hal di atas sudah bisa disimpulkan bahwa kuliah TI bukanlah hal sia-sia.
Dengan kuliah TI :

  1. kita mampu berperan aktif sebagai profesional TI yang memiliki pola pikir terarah dan sistematik.
  2. atmosfer lingkungan kampus sangat mendukung bagi kita untuk belajar lebih giat lagi tentang TI, di situ juga ada kelompok/forum diskus/belajar bersama, dan juga organisasi kemahasiswaaan. yang tentu menambah tantangan dan pengalaman. Selain itu, dengan kelompok tersebut mahasiswa dituntut untuk bisa untuk bisa bekerjasama.
  3. kita dibimbing oleh dosen yang tentu ahli dalam bidangnya.
  4. kesempatan untuk dipandang oleh orang lain di dunia kerja juga akan tinggi. Bahkan oleh lingkungan sekitar, orang yang berpendidikan sarjana akan dianggap ahli dan pintar oleh lingkungan. Tentu membanggakan orangtuanya.
  5. membentuk pribadi yang memiliki passion, percaya diri, kesabaran dan soft-skill yang tinggi di bidang TI, dengan visi dan misi yang jelas untuk masa depannya.
  6. mungkin ada yang mau menambahkan lagi? 😀

Beberapa fenomena yang terjadi di dunia proyek TI dengan instansi atau perusahaan pemerintah

Beberapa fenomena yang sering terjadi apabila salah satu vendor TI lolos 3 besar atau menang tender atau lelang di sebuah instansi atau perusahaan pemerintah:

  1. Ancaman
    Ancaman sangat bisa terjadi ketika sudah lolos 3 besar atau menang tender.
    Contoh yang pernah terlihat : Ancaman pembunuhan, ancaman diminta mundur dr proyek, jika tidak turuti, maka akan mengacaukan proyek tersebut.
  2. Tindakan kolusi
    Jadi, yg masuk 2 atau 3 besar itu mereka bersaing, tetapi ada yg bersaing gk sehat. Mendadak si pesaing menelpon : “mas, proyeknya buat kita aja ya! Nanti mas saya bayar 25% dr harga proyek, drpd mas maju belum tentu jg mas menang. Atau mas mau buka penawaran..kami siap denger?!!”
  3. Tindakan nepotisme
    Kalau sudah masuk 3 besar, ada vendor yg licik mencari rekanan dr orang dalem, biar mulus perjalannya di proyek tsb. Kebanyakan vendor-vendor murni itu kalah di sini pdhal presentasi, prototype dan kesiapannya bagus.
  4. Manipulasi
    Ada beberap vendor yang bisa lolos mulus masuk 3 besar karena datanya fiktif, team yg direkrut bukan orang sebenarnya yg sesuai tercantum dlm proposal penawaran. Ditulis lulusan S2, ternyata malah yg dipekerjakan mahasiswa S1 tingkat akhir. Loh? Kan ada verifikasi tuh biasanya di LPSE dsb. Ya ijazahnya minjem sm teman yg bukan anggota team.

Ya semua itu untuk urusan duit. 😀