Video games dari berbagai sudut pandang

Tulisan ini sudah lama sekali saya pendam, tapi masih bingung menulisnya agar kata-kata tersampaikan dengan jelas.

Karena sebagian orang memandang video games itu sama seperti orang memandang aspek TI dianggap cuma “ecek-ecek” aja, bukan bagian penting.

Dulu ada pendapat seorang dosen dan ustaz yang bilang “video games tidak ada manfaatnya, buang-buang waktu”

Saya paham esensinya kalau mereka bilang agar memanfaatkan waktu sebaik mungkin.

Namun, begini pemirsa yang budiman.. banyak cara seseorang berhibur, dengan menonton film ntah di tv, ntah di bioskop, ada yang membuat kopi ngoleksi berbagai alat racik kopi, ada yang hobi koleksi ikan hias, dsb. Sama, ada orang yang butuh hiburannya dengan bermain games. Bagi orang yang tidak suka? mesti dianggap semua itu tidak bermanfaat.

OK, kalo esensinya “melebihi batas”, saya sepakat, apapun yang melebihi batas, tidak baik, makan berlebihan bikin sakit, kerja berlebihan bikin sakit, olah raga berlebihanpun bikin sakit, apalagi nonton drakor semalam suntuk sama, bikin sakit.

Nah, sebagai seorang praktisi TI, saya melihat industri games di Indonesia ini di kalangan developer sangat baik, tapi di kalangan konsumen, duuh, masih memprihatinkan. Ya terbukti masih banyak menganggap video games itu tidak bermanfaat, masih ada yang menganggap copy game dari internet itu tidak berdosa (padahal game itu oleh developernya dijual, tapi oleh orang yg tidak berwenang dibagikan secara gratis), dan juga baru kemarin saya lihat ada orang bangga exploit harga dari negara lain yang kursnya lebih rendah, dipamerkan ke orang lain dan juga ada juga yang protes dari kaum mendang-mending yang menganggap mending beli game digital dari kurs luar daripada koleksi game fisik.

Ini semua penyakit, jadi wajar kalau produsen console masih enggan buka HQ resmi di sini (terlepas dari masalah birokrasi negara kita). SDM kita belum siap.

Saya pribadi, saya terlibat dengan studio games GL1 di Jakarta dari tahun 2020, sebelumnya pun pernah proyekan barengan dengan seorang cewek game developer dari gameloft buat garap project di BNI (sekarang si teman ini sedang post graduate di Estonia). Yang mau saya sampaikan adalah, games itu bukan hanya untuk anak kecil saja, tapi untuk semua kalangan.

Saya sempat terlibat pengembangan games untuk training SDM di bank, saya sendiri waktu mengikuti training pakta integratas di Sinarmas, itupun bentuknya games yang menarik agar mudah diingat dan dipahami.

Dan industri games untuk perkantoran ini makin banyak. Developer di tim sayapun ikut mengembangkan games untuk psikolog. Jadi kalo ada yang bilang games tidak ada manfaatnya, coba dibuka pandangannya lebih luas.

Selain itu, sekarang ini banyak tools anak-anak berbentuk video games yang mengajarkan coding, mulai dari runut algoritma sederhana agar anak-anak mengerti bagaimana sebuah program berjalan dan juga memahami mengenai logika sederhana.

Yakin itu semua tidak ada manfaat?

Ok, kalo bahas aspek negatif videogames, ini juga yang salah bukan gamesnya, tapi orang tua yang tidak memahami masalah rating.

Berapa banyak di kita kalo melihat orang nonton film dewasa, action, yang seharusnya untuk orang dewasa, tapi mengajak anak-anak ke dalam ruangan bioskop? orang tuanya jelas baca itu ratingnya, tapi ya kepekaannya kurang.

Nah sama halnya dengan videogames, sudah jelas di box dan di intro games itu biasanya ada rating, tapi ya kebanyakan cuek. Saya pribadi, tidak pernah sedikitpun menyajikan games yang ada adegan pukul2an, dsb, yg intinya memang belum pantas dilihat oleh anak-anak. Biasanya saya main remote di Steam deck atau nunggu anak-anak tidur/sekolah.

Games itu menyenangkan, anak-anak suka games Mario dan Pokemon, mereka membayangkan menjadi hal itu, imajinasi merekapun melebar. Imajinasi tentu melahirkan kreatifitas.

Selain menyenangkan, ada juga aspek empati. Game bisa melampaui keterbatasannya film dengan menempatkan pemain di sudut pandang orang pertama, yang harus bertindak & ambil keputusan. Banyak games RPG yang membawa gamer di posisi orang pertama, dan harus mengambil keputusan mesti berbuat apa, sebut saja game-game keluaran Bioware seperti SW KOTOR dan Dragon Age, dan game keluaran CDProjectRED, The Witcher 2 & 3. Kita mau jadi baik, atau mau jadi jahat, ada kosekuensi dari setiap tindakan kita, dan inilah yang mengajarkan kita menguatkan empati di masyarakat.

Bagaimana dengan industri games di dunia? Wah pesat, mau bukti? Baru-baru ini ada leaked data Insomniac, data development game Spider-man 2 nunjukin angka 600 million USD buat development dengan ribuan karyawan direkrut, bayar royalty ke yg punya license 26%. Terus hari ke 14 profit 2,8 million USD, belum lagi penjualan toys yang related game tersebut, angka yang sangat fantastis, dan tentunya membuka banyak lapangan pekerjaan dari UI design, design artist, Voice actor, director, developer, QA, CG editor, dsb.

Bandingkan dengan movie Spider-man FFH, biaya produksi 160jt USD saja.

Sekian tulisan saya soal video games. Tulisan yang sudah lama saya pikirkan, baru ada triggernya hari ini hahaha.

oh ya saya tambahkan kutipan dari sebuah riset https://www.researchgate.net/publication/224171526_Game-based_learning_courseware_for_children_with_learning_disabilities

Bermain (game) sangat penting untuk membantu orang memperoleh berbagai keterampilan kognitif dan sosial. Menurut teori perkembangan kognitif Piaget (1962), bermain (game) adalah dasar perkembangan kognitif dan emosional seseorang.

Selain itu, bermain game, baik untuk hiburan atau tujuan utilitas, telah digunakan dalam berbagai bidang, seperti pemasaran, manajemen, politik, dan sains. Seperti yang disebutkan di atas, peneliti game dapat fokus pada permainan itu sendiri atau orang yang memainkannya.

Dengan tujuan yang menantang, interaksi sosial, dan aturan tertentu, permainan memberikan stimulasi unik, berfungsi sebagai bentuk latihan, dan membantu pemain mengembangkan berbagai keterampilan.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.