Luwes

Tantangan menjadi freelance developer itu bukan soal sudah jago programming apa belum. Karena walaupun kita sepinter dan sejago apapun. Kalo mindsetnya masih seperti orang yang kerja kantoran, menerima task dari atasan, dikerjain, selesai, repeat gitu terus, maka jenjang karir akan lambat berkembang. Iya kalau di perusahaan kita ada jenjang karir yang jelas tiap berapa tahun naik jabatan, tapi kalo tidak ada, maka akan sulit. Di dunia freelancer juga demikian.

Ada banyak tantangan di dunia proyek freelance developer, yaitu:

  1. Case yang dihadapi selalu beragam. Hari ini handle proyek membangun aplikasi analisis gangguan pendengaran – audiometri, besoknya casenya app. form survey kendaraan bermotor, lusa case marketplace. Jadi tiap hari, tiap bulan, tiap tahun case yang dihadapi selalu beragam, bidang kesehatan, transportasi, makanan, sosial, dll. Mau gak mau belajar juga dasar teorinya biar tau goal yang diharapkan klien seperti apa. Toh, sangat penting menjaga persepsi agar pada “halaman yang sama” dengan klien. Kalo kita hanya melakukan task yang diberikan, tanpa memahami casenya, ya siap-siap saja, hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. Saya dengan tim juga demikian, terkadang, developer tim saya malah memberikan masukan positif karena dia memahami casenya, alhasil, output dari fiturnya menjadi semakin baik. Dan developer yang seperti ini yang biasanya disayang semua orang, baik klien, oleh project manager, designer, dan teman-teman sesama developer, karena dia “luwes”, memahami casenya tanpa disuruh, mampu memberikan masukan yang kira-kira bisa jadi pertimbangan si klien, dan memahami outputnya agar hasilnya optimal.
  2. Ketika seseorang membuat aplikasi, pahamilah, selalu ada kompetitor. Case yang diberikan klien menarik bagi kita, tapi bisa saja kompetitor telah membuatnya semakin menarik. Apa yang bisa kita unggulkan yang bisa kita berikan ke klien? ya memang itu tugasnya klien, tapi dari sisi tech seharusnya kita bisa memastikan fitur yang dibuat lebih mudah digunakan daripada kompetitor, walaupun fiturnya sama persis.
    Ada contoh begini: “mas Widy, ini saya coba bikin, tetep gak bisa, susah, mas, teknologinya belum ada”. | “masa’ sih, mas? Coba buka app. abcdef ini, itu fiturnya sama loh, bisa kyk gini, coba research dulu aja, kira-kira ini pake tech apa” Karena saya juga pernah bilang “gak bisa” ke klien, sayapun kena sembur klien, “hey Widy, did you know we will build something amazing? this is our competitor app, please install and look carefully. If you can’t implement this, it will be disaster” Si klien juga enaknya memberikan keleluasaan buat kami untuk “research”..dan tentunya bayaran lancar terus. Beda dengan klien Indonesia, ini saya belum pernah ketemu orang yang membiarkan dev buat explore dulu, dan waktu explore tetep dihargai. Jadi intinya, coba pelajari kompetitor app, bedah dan ATM (amati tiru modifikasi) fiturnya, sehingga kita bisa membuat sesuatu yang lebih unggul dengan fitur yang sama. Dan diskusi dengan UI/UX designer juga diperlukan, jangan kerja sendiri, toh ada tim
  3. Metodologi pengembangan. “Mas, di kantor saya itu, kami biasa pake scrum, ngadain scrum meeting, lanjut bahas task, set story point, dll. Kalo bisa di sini juga gitu”. Saya pernah dapat masukan seperti itu, tapi ketahuilah, gak semua project freelancer itu kondisinya sama, typical kliennya sama, dll. Semuanya 100% berbeda, walaupun ada yang mirip. Saya pernah menganjurkan 1 workflow ke klien yang menurut saya ideal dengan jumlah personil sekian, tetapi oleh klien tidak disetujui, ntah apa alasannya. Ntah trust issue atau ada hal lain. Tetapi perlahan tapi pasti, saya bisa ajak diskusi buat klien, pelan-pelan membenahi semuanya. Jadi, tidak bisa instant. Dengan klien saya yang Dubai apalagi, klien super sibuk, kadang ada asistennya yang turun tangan, dan sayapun kesulitan menghubungi kliennya, tetapi perlahan tapi pasti, saya bisa alokasikan waktu saya sesuai jamnya si klien dan mendiskusikan semuanya. Percayalah, saya sudah set plan bulan Januari, Februari, dst selama 6 bulan ke depan seperti apa, itu ujungnya tidak ada yang pas sesuai timeline, meleset 100%, tetapi saya tidak patah semangat, saya coba update terus gantt chartnya, update terus perkembangan ke klien walau klien tidak ada response. Kenapa? karena saya punya pegangan kuat kalo tim ini tetap on-track, walaupun timeline bergeser karena design kurang matang, karena perubahan ini-itu, dll. Tidak semua seindah bayangan kita, Ferguso. Kita harus “luwes” menjaga kondisi project agar tetap terus konsisten memberikan output yang terbaik. Ketika kita berpikir, project bakal ideal dengan menggunakan Scrum, ya liat lagi, kondisinya bisa gak dipaksakan, kalo gak bisa ya coba metodologi lain, ada Kanban, dan kalo memang kondisinya kayak “Indonesia banget”, pake “Waterfall” lebih baik.
  4. 3. Ke-luwes-an ini perlu ditanamkan, agar klien juga senang dengan kita, mau edukasi klien ya bisa, ingat, ngubah kebiasaan itu sulit, jadi semua butuh proses.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.